Sabtu, 20 Maret 2010

Di Tengah Besarnya Kucuran Dana dari Pusat, Ternyata Masih Ada SDN yang Memprihatinkan

Menyedihkan! Itulah kalimat pertama yang muncul ketika saya membaca dua berita tentang kondisi dua sekolah dasar (SD) di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang dimuat di halaman daerah Harian Pelita (Jumat/03/2010).

Menyedihkan, sebab di tengah-tengah “euporia” pemerintah pusat yang merasa telah berhasil mengalokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN, sebagaimana diharuskan UUD 1945 (hasil amandemen), ternyata di Cianjur, dan mungkin juga di daerah-daerah lain, masih ada sekolah yang tak-layak disebut sekolah.

Tengoklah SDN Karya Jaya. Sekolah yang berlokasi di Kampung Cibiuk, Desa Sukaratu, Kecamatan Bojongpicung itu, sudah tujuh bulan pasang tenda darurat untuk tempat belajar para muridnya. Sebab lima dari enam ruang kelas SDN itu ambruk akibat gempa bumi tahun lalu dan hingga kini belum juga diperbaiki.

Pihak sekolah terpaksa mendirikan tenda di dekat bangunan yang rubuh agar proses belajar-mengajar terus berlanjut.

Tak beda dengan itu, kondisi dua sekolah lainnya yakni SDN Gegersari di Desa Cibarengkok (masih di Kecamatan Bojongpicung) dan SDN Hegarmanah di Desa Hegarmanah, Kecamatan Sukaluyu. Sebagian murid-murid di dua sekolah itu sudah sejak beberapa bulan lalu belajar dengan cara menggelar tikar. Sebab beberapa ruang kelasnya tidak memiliki meja-kursi untuk belajar, setelah meja-kursi yang lama rusak dan tak bisa diperbaiki lagi.

Itulah berita yang saya baca di Harian Pelita. Memang di situ ada penjelasn pihak berwenang mengapa kondisi tiga SDN tersebut seperti itu. Namun persoalannya bagi kita, paling tidak bagi saya, mengapa di tengah “banjirnya dana” dari pemerintah pusat ke daerah-daerah, kita masih dengan mudah menemukan kondisi sekolah, terutama SD, yang begitu rupa?

Apa yang salah dengan program pemerintah di bidang pendidikan, yang harus kita akui, begitu komit untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan?
Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres di tingkat daerah? Misalnya adanya oknum yang bermain dalam proses pengajuan suatu proyek rehab sekolah. Sang oknum baru mau memproses permohonan perbaikan gedung sekolah yang diajukan kepala sekolahnya kalau pihak sekolah memberi sesuatu, Sebab hal semacam itu sering kita dengar.

Mungkin kalau hal itu terjadi dalam proyek lain, misalnya pembangunan jembatan, kita agaknya bisa menutup mata. Tapi kalau sudah menyangkut proyek yang terkait sarana dan prasarana pendidikan, ini baru luar biasa. Sebab dampaknya akan langsung dirasakan para murid, yang notabene merupakan investasi masa depan bangsa ini.

Karena itu, sekalipun pemerintah pusat telah terlanjur “mengotomikan” sejumlah kewenangan dan urusannya ke daerah, termasuk dalam hal penanganan sarana dan prasarana pendidikan, tapi hendaknya pemerintah pusat tetap pasang mata dan telinga, agar dana pendidikan yang sangat besar, yang dikucurkan pemerintah ke daerah, benar-benar efektif dan berdaya guna. Kalau tidak, kita akan tetap dengan mudah menemukan bangunan sekolah, yang menurut saya, tak layak lagi di sebut sekolah, seperti contoh kasus di atas.

1 komentar:

Megan Fox mengatakan...

mengerikan euy..

oh ya, yang mau download video artis , KLIK DISINI aja

salam kenal,
Bolehngeblog

Posting Komentar