Rabu, 15 Desember 2010

Bendung Cisokan Peninggalan Hindia Belanda yang Masih Kokoh


Mungkin karena dikerjakan dengan sangat teliti dan sesuai bestek, bendungan-bendungan irigasi peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda sampai kini banyak yang masih berdiri kokoh dan berfungsi dengan baik. Satu di antaranya, Bendung Cisokan di Desa Sukarama, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Bendungan yang terletak sekitar 30 km ke arah tenggara dari pusat Kota Cianjur itu berusia lebih dari 100 tahun. Tapi kondisinya masih kokoh, bahkan diperkirakan masih akan tetap kokoh hingga 50 tahun ke depan.

Kalau pun karena satu dan lain hal bendungan itu roboh, misalnya karena bencana alam, pemerintah mau tidak mau harus membangunnya kembali. Sebab Bendung Cisokon merupakan sumber pangairan utama bagi lebih dari 5.500 ha sawah di dataran Cihea. Tepatnya di 18 desa di Kecamatan Bojongpicung, Ciranjang dan Haurwangi. Tanpa Bendung Cisokan, pesawahan di dataran Cihea dipastikan akan berubah menjadi sawah tadah hujan.

Wajar bila Bendung Cisokan berikut puluhan kilometer saluran irigasinya merupakan salah satu infrastruktur penting yang dibangun pemerintah kolonial Belanda di Cianjur. Bahkan sejarawan Reiza D.Dienaputra (dosen Unpad) dalam “Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942” (Bandung 2004), menyebutkan pembangunan sarana irigasi Cihea telah berhasil mengubah Cianjur menjadi daerah penghasil beras di Priangan (Jawa Barat).

Pembangunan irigasi di dataran Cihea itu,  dilakukan sejak akhir abad ke-19 dan selesai pada awal abad ke-20.”Hingga akhir dasawarsa kedua abad ke-20, irigasi Cihea masih menjadi satu-satunya sistem pengairan yang relatif sangat baik untuk seluruh Keresidenan Priangan,” tulis Reiza dalam bukunya itu.

Namun begitu, di tahun-tahun awal keberadaannya, irigasi tersebut sempat merugikan penduduk Cianjur, yakni adanya wabah malaria. Wabah ini timbul karena saluran pengairan yang ada di seputar irigasi Cihea kurang dipelihara dengan baik. Akibatnya muncul rawa-rawa yang menjadi tempat bersarangnya nyamuk malaria.

“Kecepatan penanganan yang dilakukan Dinas Kesehatan Umum (Burgerlijke Geneeskundige Dienst) berhasil memberantas pusat penyebaran malaria, sehingga mampu mengembalikan daerah Cihea sebagai tempat tinggal yang nyaman dan daerah pesawahan yang baik,” tulis Rieza.

Wabah malaria itu bukanlah tumbal pertama dari pembangunan irigasi Cihea. Justru korban lebih banyak terjadi ketika Bendung Cisokan, yang berlokasi di Cisuru, mulai dibangun. “Ribuan rakyat yang dikerahkan kolonial untuk membangun bendungan di Sungai Cisokan itu, banyak yang tewas karena kelaparan dan penyakit malaria,” tutur Kusmiran (37), warga Bojongpicung, yang mendengar cerita pilu ribuan rakyat saat membangun Bendung Cisokan itu dari almarhum kakeknya.

Korban tewas terjadi terutama disaat rakyat membangun terowongan air berdiameter 3 m sepanjang 1.200 m. Karena memang terowongan yang mengalirkan air dari Bendung Cisokan ke saluran irigasi Cihea itu merupakan bagian paling berat dari proyek tersebut. Terowongan ini dibuat dengan menelusuri tebing Sungai Cisokan yang merupakan daerah berbatu cadas.

Ribuan rakyat, yang sebagian di antaranya didatangkan dari luar Cianjur, dikerjapaksa untuk melubangi tebing cadas itu dengan peralatan sederhana: belincong, linggis dan pacul. Sedangkan makanan sangat kurang. Tak heran bila banyak rakyat yang tewas karena kalaparan.

“Penyakit malaria juga merajalela. Maklum daerah Cisuru saat itu merupakan hutan belantara. Rakyat yang terkena penyakit tersebut banyak yang tidak tertolong, karena belum ada obatnya,” ujar Kusmiran.

Usai membuat terowongan air, rakyat kembali kerja paksa membuat saluran irigasi dengan lebar 5-10 m menelusuri tebing bukit hingga ke daerah dataran Cihea. Korban meninggal saat membuat saluran irigasi yang sekarang disebut warga setempat sebagai Walungan (Sungai) Cisuru itu khabarnya juga tidak sedikit. Terutama karena terserang penyakit malaria.

“Pengorbanan ribuan rakyat waktu itu, tidaklah sia-sia. Karena Bendung Cisokan berikut saluran irigasinya sampai sekarang masih berfungsi dengan baik. Sekalipun dimusim kemarau, ribuan hektar sawah di Bojongpicung dan Ciranjang, tetap bisa ditanami padi dua kali setahun,” katanya.

2 komentar:

Bali Property mengatakan...

peninggalan jaman dulu itu malah awet ya,
dan masih kokoh, beda dengan bangunan / buatan sekarang, maish lebih kokoh bangunan dulu, meskipun apa adanya.
Bali Villas Bali Villa

Unknown mengatakan...

bangunan peninggalan zaman belanda yang merupakan markas belanda jg masih kokoh tepatnya di depan lapang huve.ada yang tau ga nama markas yang sekarang menjadi kantor BBTMC tersebut.

Posting Komentar